Poros kekuasaan energi dunia resmi bergeser. Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, dan Korea Selatan kini memegang kendali atas pasokan, harga, dan arah politik energi global. Sementara Rusia dan Timur Tengah terpaksa bermain di pinggir arena.
Perubahan ini bukan spekulasi. Data menunjukkan bahwa dalam tiga tahun terakhir, lebih dari 70% LNG global diproduksi dan dikirim oleh konsorsium Amerika Utara–Asia Pasifik. Jalur energi bukan lagi didikte oleh pipa gas dari Siberia atau tanker dari Teluk Persia. Kini dikendalikan oleh armada LNG dan investasi infrastruktur yang dikunci dengan kontrak jangka panjang oleh Washington, Tokyo, dan Seoul.
Amerika Memimpin, Kanada Mengunci, Australia Memperluas
AS kini produsen minyak terbesar dunia, dengan output lebih dari 13 juta barel per hari. Di pasar LNG, posisi mereka melonjak setelah membanjiri pasar Eropa pasca invasi Rusia ke Ukraina. Kanada, dengan cadangan minyak ketiga terbesar dunia, mempercepat pembangunan pelabuhan LNG di pantai Pasifik untuk menyasar pasar Asia.
Australia menjaga dominasi di Asia Timur. Dengan ekspor LNG lebih dari 79 juta ton per tahun, mereka menjadi pemasok utama Jepang dan Korea Selatan. Ketiga negara ini juga memperkuat rantai pasok dengan membangun armada tanker LNG, terminal penerima, serta jaringan logistik lintas samudra.
Jepang dan Korea Selatan Bukan Lagi Konsumen Pasif
Jepang dan Korea Selatan tak lagi hanya pembeli energi. Mereka kini aktor aktif dalam arsitektur energi global. Pemerintah Tokyo mengunci pasokan LNG dari AS dan Australia dengan kontrak 20 tahun, menghindari fluktuasi harga dan ketegangan geopolitik. Seoul mengambil pendekatan serupa.
Kedua negara juga menyuntik investasi besar dalam pengembangan energi rendah karbon di negara pemasok, memperluas pengaruh mereka secara geopolitik sekaligus memperkuat posisi tawar.
Rusia Tersingkir, Tiongkok Terkunci
Invasi Rusia ke Ukraina mempercepat keruntuhan pengaruh Moskow. Eropa memutus ketergantungan pada gas Rusia, dan Rusia gagal mengganti pasar tersebut ke Asia. Infrastruktur pipa tidak mendukung, dan sanksi Barat mengunci teknologi serta pendanaan.
Cina, meski tetap importir energi terbesar, berada dalam posisi tidak nyaman. Ketergantungan tinggi terhadap pasokan luar dan upaya dominasi jalur energi lewat Belt and Road tersendat akibat ketegangan dengan negara-negara pemasok dan tekanan dari Washington.
Eropa: Transisi Energi yang Terpaksa
Eropa kini sangat bergantung pada LNG dari AS dan Qatar. Cadangan energi lokal terbatas, dan tekanan publik untuk transisi hijau membuat ruang gerak semakin sempit. Dalam dua tahun terakhir, Jerman bahkan menghidupkan kembali pembangkit batu bara untuk menjaga kestabilan pasokan.
Jalur Baru Energi Dunia, Indonesia di Mana?
Indonesia belum masuk orbit poros energi baru. Ekspor LNG stagnan, proyek besar seperti Abadi Masela dan IDD tertunda, dan iklim investasi belum kondusif. Dibandingkan Australia atau Qatar, Indonesia kalah dari segi kepastian hukum, kecepatan regulasi, dan skala infrastruktur.
Poros Energi Sudah Berubah
Dunia tak lagi menunggu OPEC atau Kremlin bicara. Harga dan arah energi kini ditentukan di Houston, British Columbia, Darwin, Tokyo, dan Seoul. Negara yang gagal membaca peta baru ini akan membayar mahal.
Tim Riset Migas360.id









