Beranda / Politik / Proxy Energi dan Upaya Sistematis Menggagalkan Kedaulatan Energi Nasional

Proxy Energi dan Upaya Sistematis Menggagalkan Kedaulatan Energi Nasional

Warisan Fosil dan Jalan Terjal Transisi Energi

Ketika Presiden Joko Widodo memulai era pemerintahannya pada 2014, ia mewarisi sistem energi nasional yang sangat bergantung pada batu bara dan energi fosil. Meski selama satu dekade terakhir pemerintahan Jokowi menegaskan komitmennya terhadap transisi energi bersih, berbagai kebijakan lama yang berpihak pada korporasi energi fosil tetap membayangi.

Kini, saat estafet kepemimpinan beralih ke Presiden Prabowo Subianto, sejumlah pihak yang selama ini menikmati rente energi fosil mulai bermanuver. Mereka berupaya menggeser arah transisi energi yang telah dirintis Jokowi, dengan mengandalkan instrumen regulasi, lobi politik, dan narasi media.

Inilah potret terkini dari operasi “proxy energi”—kelompok yang bekerja di balik layar untuk menggagalkan kedaulatan energi Indonesia yang berdaulat dan berkelanjutan.

Warisan Regulasi yang Mengikat

Pemerintahan Jokowi sebenarnya telah menargetkan bauran energi terbarukan mencapai 23% pada 2025. Namun, sejumlah kebijakan warisan, seperti skema 35.000 MW yang didominasi PLTU batu bara, hingga revisi Undang-Undang Minerba yang memberikan insentif besar bagi industri batu bara, menjadi beban struktural.

PLN terikat kontrak take-or-pay yang memaksanya membayar listrik meski tidak terpakai. Nilai kerugiannya mencapai ratusan triliun rupiah. Di sisi lain, regulasi energi terbarukan seperti pemanfaatan PLTS atap, justru dibatasi dengan dalih stabilitas jaringan listrik.

“Kita menghadapi konflik antara dua paradigma energi: satu berorientasi pada margin keuntungan jangka pendek, dan satunya lagi menuju kedaulatan energi berkelanjutan,” ujar seorang mantan pejabat ESDM yang enggan disebutkan namanya.

Pola Operasi Proxy Energi

Dalam laporan ini, kami mengidentifikasi tiga pola utama dari aktivitas proxy yang menghambat transisi energi:

Manuver Regulasi dan Legislasi

Revisi Peraturan Presiden tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menurunkan target bauran EBT dari 23% menjadi 17-19%.

Lobi terhadap DPR untuk mempercepat pembahasan RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET), dengan pasal-pasal yang ambigu terhadap definisi EBT.

Kampanye Narasi dan Delegitimasi Jokowi

Di berbagai media dan forum, narasi yang dibangun adalah bahwa kebijakan energi Jokowi tidak konsisten. Transisi energi disebut terlalu ambisius, tidak realistis, dan membebani fiskal.

Narasi ini dipakai untuk membangun legitimasi baru bagi arah kebijakan di bawah pemerintahan Prabowo.

Inisiatif Hijau yang Menyesatkan

Proxy mempromosikan teknologi seperti co-firing batu bara dan biomassa, Carbon Capture and Storage (CCS), hingga PLTN sebagai solusi transisi. Padahal, sebagian besar skema ini justru mempertahankan keberadaan PLTU batu bara dengan nama berbeda.

Peta Kekuatan dan Relasi Kepentingan

Investigasi ini mengungkap keterkaitan antara sejumlah elite politik, perusahaan energi fosil, dan kelompok pemodal yang konsisten menolak insentif besar-besaran bagi energi terbarukan. Dalam banyak kasus, kebijakan yang terlihat netral atau teknokratis sejatinya adalah hasil dari kompromi politik panjang.

Misalnya, dalam penyusunan revisi RPP KEN, ditemukan adanya kelompok kepentingan yang aktif memengaruhi tim teknis di bawah Kementerian ESDM. Mereka mendorong penggunaan terminologi luas seperti “energi baru” agar PLTU berbasis CCS dapat tetap beroperasi.

Transisi di Era Prabowo—Ujian Nyata Kedaulatan Energi

Kemenangan pasangan Prabowo-Gibran membawa harapan dan sekaligus kekhawatiran. Di satu sisi, visi kedaulatan energi nasional kembali digaungkan. Di sisi lain, keberadaan kelompok lama yang telah siap masuk ke lingkar kekuasaan membuka ruang bagi kompromi yang dapat melanggengkan dominasi energi fosil.

Sinyal kekhawatiran muncul dari pembiaran terhadap proyek PLTU captive di kawasan industri baru. Beberapa skema investasi energi hijau juga tersendat karena belum adanya kepastian regulasi turunan dari revisi kebijakan nasional.

“Jika pemerintahan baru gagal melanjutkan konsistensi arah transisi energi, maka Indonesia akan kembali menjadi pasar energi fosil global,” kata [sumber yang kami sembunyikan identitasnya ], analis senior energi dari [sebuah lembaga].

Kedaulatan Energi Bukan Sekadar Teknologi, Tapi Politik

Upaya memperkuat energi bersih dan terbarukan di Indonesia menghadapi hambatan bukan hanya dari sisi teknis, tetapi juga struktural dan politis. Proxy energi tidak lagi berselubung; mereka hadir dalam bentuk kebijakan, opini publik

Tim Riset Migas360.id