Beranda / Industri Strategis & Transisi / Indonesia di Persimpangan Transisi Energi: Ambisi, Pergulatan dan Realitas

Indonesia di Persimpangan Transisi Energi: Ambisi, Pergulatan dan Realitas

Solar panels and wind turbine in a snowy landscape, showcasing renewable energy sources.

Indonesia tengah berada di ambang transformasi besar dalam lanskap energi nasional. Di tengah tekanan global untuk dekarbonisasi, negara ini bergulat dengan tantangan struktural, regulasi yang tumpang tindih, serta ketergantungan panjang terhadap batu bara. Ambisi menjadi kekuatan energi bersih Asia Tenggara tak bisa dibantah. Namun, pertanyaannya: apakah ambisi itu realistis atau hanya jargon diplomatik?

Janji dan Arah Baru Energi Nasional

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada akhir 2024 menegaskan komitmen untuk mempercepat target Net Zero Emission (NZE) dari 2060 menjadi 2050. Penegasan ini disampaikan bersamaan dengan rencana pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara secara bertahap dalam kurun 15 tahun ke depan.

Upaya ini tidak berdiri sendiri. Indonesia juga menjadi salah satu penerima utama program Just Energy Transition Partnership (JETP), paket bantuan senilai USD 20 miliar dari negara-negara G7 dan mitra swasta yang bertujuan mempercepat transisi energi. Namun hingga pertengahan 2024, pencairan dana dan proyek konkret dari skema ini masih berjalan lambat.

Realitas di Lapangan: Dominasi Batu Bara dan Subsidi Fosil

Meski wacana transisi energi menguat, realitasnya 66% pasokan listrik nasional masih bersumber dari batu bara. PLN masih melanjutkan pembangunan PLTU baru dalam RUPTL 2021โ€“2030. Di sisi lain, subsidi energi fosil justru meningkat. Pada akhir 2024, subsidi LPG melonjak hingga Rp 83 triliun, menandakan ketimpangan perlakuan antara energi kotor dan bersih.

Lembaga think tank IESR mencatat, bauran energi baru terbarukan (EBT) Indonesia baru mencapai 13,1% pada 2023. Target 23% di tahun 2025 pun kini direvisi pemerintah menjadi hanya 17โ€“19%, sinyal pesimistis terhadap capaian dekarbonisasi jangka pendek.

Tantangan Struktural: Investasi, Infrastruktur dan Regulasi

Untuk mencapai NZE 2050, Indonesia membutuhkan investasi energi bersih sebesar USD 30โ€“40 miliar per tahun. Namun, realisasi investasi EBT pada 2023 hanya menyentuh USD 1,5 miliar. Total kebutuhan transisi energi hingga 2050 diperkirakan mencapai USD 1,2โ€“1,3 triliun.

Infrastruktur kelistrikan juga belum siap menerima integrasi PLTS dan PLTB secara masif. Grid nasional masih terfokus di Jawa, sedangkan potensi angin dan surya terbesar berada di wilayah Indonesia Timur.

Selain itu, perizinan pembangunan EBT masih berbelit, dan harga jual listrik dari EBT belum kompetitif akibat skema tarif yang kaku serta dominasi monopoli PLN.

Sektor Prioritas: Panas Bumi, Bioenergi dan Klaster Hijau

Indonesia memiliki potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, namun pengembangannya terkendala biaya eksplorasi yang tinggi dan resistensi masyarakat lokal. Sementara itu, pengembangan bioenergi difokuskan pada program B40 dan pemanfaatan limbah organik melalui proyek waste-to-energy.

Sejak Januari 2025, pemerintah juga mulai memfokuskan pembangunan “klaster industri hijau” berkapasitas 6,6 GW. Proyek ini mencakup hilirisasi nikel, produksi baterai kendaraan listrik, dan pengembangan amonia hijau di kawasan Kalimantan Utara dan Sulawesi.

Target dan Cita-cita

  • 2025: Target bauran EBT direvisi menjadi 17โ€“19% dari semula 23%.
  • 2030: Puncak emisi gas rumah kaca, penambahan 30 GW EBT, dan penghentian 4,3 GW PLTU.
  • 2040โ€“2050: Seluruh pembangkit batu bara dihentikan, dan Indonesia mencapai Net Zero Emission.

Diantara Janji dan Jalan Terjal

Transformasi energi Indonesia berada di antara dorongan geopolitik, tekanan lingkungan, dan kompleksitas birokrasi dalam negeri. Visi besar sudah dicanangkan. Namun, tanpa terobosan kebijakan, pembenahan tata kelola, dan komitmen investasi jangka panjang, risiko transisi yang stagnan justru akan memperlebar jurang antara retorika dan realisasi.

Indonesia tidak kekurangan potensi. Tapi dalam transisi energi, potensi bukan segalanya. Yang menentukan adalah keberanian memilih jalan sulit, meninggalkan kenyamanan energi fosil, dan menyiapkan fondasi hijau yang kokoh untuk generasi mendatang.g akan tetap memompa emas hitam esok hari โ€” produksi 1 juta barel per hari pada 2030.

Tim Riset Migas360.id