Beranda / Geopolitik Migas / Ekonomi Bayangan Energi / Trump Hidupkan Bara: Kudeta Energi Fosil dari Gedung Putih

Trump Hidupkan Bara: Kudeta Energi Fosil dari Gedung Putih

Iconic view of the White House with lush gardens and a central fountain on a sunny day.

Di tengah gelombang panas ekstrem dan kebakaran hutan global, Presiden Donald J. Trump — kini menjabat kembali untuk periode keduanya — secara resmi mengumumkan kebijakan “Kebangkitan Energi Amerika.” Namun bukan energi terbarukan yang dimaksud, melainkan batubara.

Dengan retorika bombastis khasnya, Trump menyebut batubara sebagai “batu penjaga kebebasan energi Amerika.” Dalam waktu 100 hari pertamanya, sejumlah kebijakan kunci langsung diberlakukan:

  • Pencabutan aturan pembatas emisi pembangkit batubara,
  • Pemberian izin eksploitasi tambang yang sebelumnya dibekukan,
  • Pembatalan subsidi energi bersih, dan
  • Pelemahan wewenang EPA (Environmental Protection Agency).

Menghidupkan Masa Lalu, Mengubur Masa Depan?

Trump menegaskan bahwa langkah ini bertujuan untuk mengembalikan “pekerjaan kelas pekerja Amerika” dan mengurangi ketergantungan pada energi asing. Namun data tidak berpihak padanya:

  • Produksi batubara AS turun 53% sejak 2010,
  • Jumlah pekerja sektor batubara kini di bawah 38.000,
  • Investasi global dalam energi bersih kini 10 kali lebih besar dari batubara.

Sebuah laporan dari lembaga independen Climate Nexus menunjukkan bahwa kebijakan Trump bisa meningkatkan emisi karbon AS hingga 12% pada 2027 — membatalkan seluruh pencapaian lingkungan sejak era Obama.

Dampak Internasional: AS Melawan Arus Dunia

Saat G7 dan PBB mempercepat transisi energi bersih, Trump justru mengarahkan AS ke arah sebaliknya:

  • Indonesia, Vietnam, dan Bangladesh kembali membuka keran impor batubara AS dengan harga murah.
  • Pabrik batubara yang sempat mangkrak kini hidup kembali di Ohio dan Kentucky.
  • Pasar karbon global terguncang, dengan harga karbon Eropa naik 23% akibat ketidakpastian kepemimpinan AS.

“Trump menciptakan celah baru bagi energi kotor di Asia Tenggara. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi juga diplomasi iklim,” ujar Prof. Amanda Liu, pakar geopolitik energi dari Oxford Institute.

Krisis Iklim Didekonstruksi

Ironisnya, data dari dalam negeri Trump sendiri (EPA) menunjukkan potensi bencana akibat kebijakan ini:

  • Tambahan 7.000 kematian dini per tahun akibat polusi udara,
  • Lonjakan kasus asma dan penyakit pernapasan di kawasan industri,
  • Potensi kerugian ekonomi jangka panjang mencapai $260 miliar hingga 2030 karena bencana iklim.

Namun bagi Trump, “perubahan iklim adalah konstruksi liberal,” dan satu-satunya perubahan yang ia perjuangkan adalah “mengembalikan kejayaan industri Amerika.”

Penutup: Siapa yang Diuntungkan?

Kebijakan batubara Trump bukan sekadar soal energi, tetapi soal arah peradaban. Di saat dunia memilih transisi, Trump memilih resistensi. Saat negara lain membangun ladang surya, Amerika di bawah Trump memilih menggali lubang masa lalu.

Pertanyaannya: apakah ini kebangkitan energi nasional — atau pembakaran masa depan demi nostalgia ekonomi? produksi 1 juta barel per hari pada 2030.

Tim Riset Migas360.id