Siapa Kendalikan Api, Kendalikan Arah Sejarah — dan Indonesia Mulai Masuk Panggung Utama.
Dunia sedang bergeser. Kekuasaan tak lagi ditentukan oleh senjata atau dolar semata, tapi oleh siapa yang mampu mengalirkan energi — dan menahan alirannya. Di tengah krisis global dan ketegangan geopolitik, BRICS+ muncul sebagai blok baru yang menggabungkan cadangan energi raksasa, teknologi bersih, dan ambisi besar untuk merebut ulang kedaulatan atas sumber daya.
Tak mau tertinggal, Indonesia resmi bergabung dalam gelombang perluasan BRICS, memperkuat posisi Asia Tenggara sebagai bagian dari desain besar tatanan dunia baru.
BRICS+: Ketika Timur Bicara dengan Bahasa Energi
Sejak diperluas pada 2024 dengan masuknya Arab Saudi, UEA, Iran, Mesir, dan Ethiopia, BRICS bukan lagi sekadar forum ekonomi negara berkembang. Kini, ia adalah aliansi energi dan geoekonomi yang mewakili:
- Lebih dari 40% cadangan minyak dunia
- Sekitar 35% produksi gas alam global
- Kawasan dengan pertumbuhan energi terbarukan tercepat
- Pasar domestik terbesar: dari Tiongkok, India, Brasil, hingga Indonesia
Masuknya Indonesia semakin mengukuhkan BRICS sebagai blok energi masa depan yang bukan hanya kaya cadangan, tapi juga kuat pasar.
Kenapa Indonesia Akhirnya Bergabung?
Keputusan Indonesia untuk bergabung dengan BRICS bukanlah langkah spontan. Ini adalah hasil kalkulasi panjang dari kekecewaan pada struktur global lama dan peluang baru yang ditawarkan oleh blok ini:
1. Diversifikasi Mitra Strategis
Setelah puluhan tahun bergantung pada IMF, World Bank, dan sistem dolar, Indonesia mulai mencari alternatif. BRICS menawarkan jalur pembiayaan baru — lewat New Development Bank — tanpa prasyarat politik gaya Barat.
2. Energi Jadi Kartu As Indonesia
Dengan kekuatan di sektor batu bara, nikel, LNG, dan potensi energi baru-terbarukan, Indonesia ingin masuk dalam rantai nilai energi global — bukan sekadar sebagai eksportir mentah, tapi aktor teknologi dan finansial.
3. Percepatan Transisi Energi Lewat Akses Teknologi Timur
Melalui BRICS, Indonesia membuka akses langsung ke teknologi energi bersih Tiongkok dan India, serta potensi joint development reaktor modular dari Rusia. Transisi energi jadi lebih murah, lebih cepat, dan lebih strategis
Apa Arti Keanggotaan Ini bagi Energi Nasional?
Masuknya Indonesia ke BRICS membuka tiga peluang strategis:
- Pembiayaan Infrastruktur Energi Non-Barat: Termasuk kilang, PLTN, dan hydrogen hub.
- Perdagangan Energi Non-Dollar: Kontrak batu bara atau LNG bisa dijalankan dalam yuan, rupee, atau bahkan rupiah di masa depan.
- Aliansi Penentu Harga Global: Bersama Arab Saudi, Rusia, dan Brasil, Indonesia bisa ikut dalam pembentukan harga dan kuota energi di luar OPEC atau OECD.
Namun, peluang ini datang dengan tantangan: Indonesia harus siap berpikir sebagai kekuatan global, bukan sekadar pemain regional.
Dampak Global: Blok Energi Baru, Peta Ulang Jalur Baru
Dengan BRICS+ yang kini mencakup wilayah dari Tiongkok hingga Ethiopia, dan dari Rusia hingga Indonesia, jalur energi dan logistik pun bergeser:
- INSTC (koridor Rusia-Iran-India) diperluas ke Asia Tenggara.
- BRICS Green Corridor mulai menggandeng proyek energi terbarukan di Kalimantan, Papua, dan Sulawesi.
- Indonesia berpotensi jadi hub logistik LNG dan baterai untuk kawasan Indo-Pasifik.
Indonesia Tidak Lagi di Tepi Panggung
Bergabungnya Indonesia dengan BRICS menandai babak baru dalam sejarah energi nasional. Ini bukan soal memilih blok Timur atau Barat, tapi tentang memposisikan diri sebagai aktor strategis di dunia multipolar — tempat energi menjadi alat diplomasi, instrumen pertahanan, dan kartu tawar ekonomi.
Kini, Indonesia tak lagi penonton. Ia duduk di meja perundingan energi global — dan saat dunia bicara soal arah masa depan energi, Jakarta ikut bersuara.aru peperangan: perang blokade energi. Tanpa letusan senjata, tapi dengan daya hancur jangka panjang yang bisa membuat ekonomi terbesar ke-11 dunia terjerembap dalam dekade gelap.
Tim Riset Migas360.id









