Tambang Tak Lagi Milik Korporasi
Pemerintah resmi memberlakukan Undang-Undang No. 2 Tahun 2025 tentang perubahan keempat UU Minerba. Salah satu pokok krusial dalam beleid ini adalah perubahan skema prioritas pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada koperasi, UMKM, organisasi keagamaan, dan perguruan tinggi.
Langkah ini disebut sebagai upaya negara meredistribusi kekayaan alam kepada entitas yang lebih dekat dengan masyarakat. Namun di balik pendekatan idealistik ini, muncul beragam kerentanan struktural yang, jika tidak ditangani, berpotensi menimbulkan kerugian sistemik dan kekecewaan publik jangka panjang.
Peta Masalah
1. Kapasitas Operasional Lemah di Akar Rumput
Mayoritas koperasi, UMKM, dan organisasi sosial keagamaan tidak memiliki infrastruktur teknis, manajerial, maupun sumber daya manusia yang memadai untuk menjalankan operasional tambang. Sistem keuangan internal pun masih dominan berbasis pendekatan informal. Hal ini menempatkan entitas-entitas tersebut dalam posisi rawan untuk dijadikan “kendaraan legal” bagi kepentingan pihak luar.
Risiko utama: Izin tambang dikuasai secara tidak langsung oleh pihak-pihak yang justru ingin menghindari regulasi formal dan publikasi kepemilikan nyata.
2. Fragmentasi Izin yang Sulit Diawasi
Pemberian izin kepada ratusan entitas kecil menciptakan fragmentasi yang menyulitkan pengawasan di lapangan. Di sisi lain, mekanisme verifikasi dan pemantauan pemerintah daerah belum dilengkapi perangkat digital dan basis data pemilik manfaat (beneficial ownership) secara real-time.
Dampaknya: terjadi disparitas antara dokumen legal dan kendali operasional di lapangan, membuka celah untuk praktik tambang ilegal terselubung dalam izin formal.
3. Potensi Oligarki Baru Berbasis Simbol Sosial
Kemunculan organisasi keagamaan dan lembaga pendidikan sebagai prioritas penerima WIUP membawa risiko baru: alih kuasa ekonomi sumber daya dari elite korporasi ke elite simbolik. Tanpa pemisahan yang tegas antara peran sosial dan aktivitas komersial, muncul potensi konflik kepentingan serta manipulasi moralitas publik sebagai tameng bisnis.
Gejala awal: Konsolidasi izin tambang oleh jaringan ormas tertentu yang memiliki jejaring politik dan logistik nasional, tanpa keterlibatan masyarakat lokal yang nyata.
4. Ketimpangan Realisasi Ekonomi Lokal
Walau niatnya pemerataan, dalam praktiknya belum ada desain konkret tentang bagaimana izin tambang ini akan menghasilkan efek ekonomi riil di wilayah penerima. Tanpa program turunan seperti pelatihan, pembiayaan, dan hilirisasi skala kecil, izin tambang hanya menjadi instrumen administratif tanpa hasil ekonomi lokal.
Risiko jangka panjang: Terulangnya model pertambangan ekstraktif lama dalam wajah baru yang hanya memindahkan kendali dari pusat ke jaringan elite daerah.
Solusi Struktural
1. Filterisasi Kelayakan Bukan Sekadar Legalitas
Sebelum izin diterbitkan, negara perlu menegakkan proses seleksi berbasis kemampuan teknis dan manajerial, bukan hanya status hukum. Entitas koperasi atau ormas yang ingin mengelola tambang wajib lolos asesmen berbasis:
- Proyeksi produksi dan kapasitas teknis
- Tata kelola keuangan transparan
- Kemitraan operasional profesional
Solusi ini memastikan bahwa setiap izin tambang jatuh ke tangan yang mampu mengeksekusi, bukan sekadar memenuhi syarat administratif.
2. Integrasi Pengawasan Berbasis Digital & Publik
Solusi kedua adalah mengintegrasikan seluruh izin, data produksi, lokasi tambang, dan jejak transaksi ke dalam satu platform digital nasional berbasis open data. Setiap entitas pemegang WIUP wajib melaporkan aktivitasnya secara berkala dan terbuka.
Fungsi utama sistem ini bukan sekadar kontrol internal pemerintah, tetapi membuka ruang partisipasi publik—LSM, akademisi, dan warga lokal—untuk mengawasi langsung aktivitas pertambangan berbasis data.
3. Pemisahan Fungsi Sosial dan Komersial
Organisasi berbasis agama, pendidikan, atau sosial yang menerima izin usaha tambang harus memisahkan unit operasional bisnis dari fungsi sosialnya secara hukum dan struktur. Tambang harus dijalankan oleh entitas usaha tersendiri dengan audit profesional dan manajemen yang berdiri independen dari aktivitas dakwah atau akademik.
Solusi ini mencegah terjadinya konflik kepentingan dan memelihara kredibilitas lembaga-lembaga sosial dalam jangka panjang.
4. Penguatan Ekosistem Tambang Mikro Berkelanjutan
UU ini akan berdampak nyata pada ekonomi lokal hanya jika ekosistem pendukung tambang skala kecil dibangun paralel. Termasuk:
- Skema pembiayaan khusus tambang rakyat dan koperasi
- Sertifikasi teknisi tambang desa
- Akses teknologi pascatambang, pemurnian sederhana, dan produksi hilir skala mikro
Solusi ini menjadikan tambang bukan sekadar alat eksploitasi, tetapi sumbu industrialisasi daerah berbasis komunitas.
Kesimpulan
UU Minerba 2025 memperkenalkan konsep baru dalam tata kelola tambang nasional: redistribusi izin kepada aktor non-korporasi. Namun, tanpa arsitektur implementasi yang disiplin, regulasi ini dapat berubah menjadi panggung distorsi legalisasi, di mana pihak lama berganti topeng dan publik tetap tak mendapat manfaat.
Solusinya bukan menarik mundur kebijakan, melainkan mendorong fondasi teknokratik dalam pelaksanaan, berbasis digital, data, dan disiplin tata kelola.
Dengan pendekatan ini, Indonesia bukan hanya mereformasi wajah sektor minerba, tapi mengukir model baru tata kelola sumber daya berbasis komunitas yang berdaya dan berkelanjutan.tor perlu terus memantau volatilitas pasar global pangkal di Selat Hormuz dan menyiapkan langkah cepat bila eskalasi konflik meningkat.
Tim Riset Migas360.id








