Beranda / Mineral / Drama Nikel Raja Ampat: Siapa Tertawa Paling Akhir?

Drama Nikel Raja Ampat: Siapa Tertawa Paling Akhir?

piaynemo, nature, raja ampat, indonesia, west papua, sea, landscape, view, ocean, vacation, islands, waves

Meski empat izin tambang nikel telah dicabut, satu perusahaan besar tetap beroperasi di Raja Ampat. Di balik bentang alam yang memukau, tarik-menarik kepentingan antara pemerintah, korporasi, aktivis lingkungan, dan masyarakat adat terus berlanjut—dan belum ada yang benar-benar menang.

Langit Raja Ampat cerah, lautnya membiru, dan karangnya memesona. Tapi di balik pesona itu, suara-suara keberatan terus menggema dari pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe dan Waigeo. Debu tambang menggantikan angin laut, sedimentasi mengaburkan dasar laut, dan masyarakat adat bertanya: siapa sebenarnya yang diuntungkan dari tambang nikel di tanah mereka?

Pada awal Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pencabutan izin empat perusahaan tambang nikel yang beroperasi di kawasan kepulauan Raja Ampat. Keputusan ini disebut sebagai respons atas tekanan publik yang menguat setelah laporan investigatif dari Greenpeace, Walhi, dan Aliansi Lembaga Jaringan Rakyat (ALJARA).

Namun, satu perusahaan tetap melanjutkan aktivitasnya: PT Gag Nikel, anak usaha BUMN Antam. Pemerintah berdalih bahwa Gag Nikel tidak berada di dalam kawasan Geopark dan karenanya tetap sah beroperasi. Bagi aktivis, ini adalah celah hukum yang dipelintir.

“Ini soal konsistensi. Tidak ada pulau kecil yang aman jika UU Nomor 1/2014 dilanggar. Gag Nikel tetap operasi adalah bentuk impunitas,” ujar Asep Komarudin dari Greenpeace Indonesia.

Di Tengah Lautan Kepentingan

Drama ini memperlihatkan tiga poros kekuatan yang berhadap-hadapan:

  1. Pemerintah dan BUMN, yang mengusung agenda hilirisasi nikel dan industrialisasi baterai kendaraan listrik. Bagi mereka, nikel adalah “harta karun transisi energi.”
  2. Aktivis lingkungan, yang mengingatkan bahwa pulau-pulau kecil tidak cocok untuk tambang, karena cepat rusak dan dampaknya sistemik. Mereka menuding ada manipulasi perizinan dan konflik kepentingan pejabat.
  3. Masyarakat adat Raja Ampat, yang menggantungkan hidup dari laut dan ekowisata. Mereka merasa diabaikan dari pengambilan keputusan dan menjadi korban langsung pencemaran.

Mansur Mayor, nelayan asal Kawe, mengeluh. “Air laut kami sekarang keruh, ikan berkurang, anak-anak tidak bisa berenang. Kami hanya ingin laut kami kembali.”

Hukum dan Politik: Dua Arah yang Berlawanan

Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, aktivitas tambang di Gag melanggar UU Perlindungan Pulau Kecil (UU No.1/2014) dan UU Minerba karena belum memenuhi syarat teknis dan lingkungan. Gugatan ke Mahkamah Agung bahkan pernah dikabulkan pada 2021, namun implementasinya lemah.

Di sisi lain, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyebut bahwa perusahaan yang belum eksploitasi “masih bisa diverifikasi ulang.” Namun sikap ini dinilai inkonsisten oleh DPRD Raja Ampat, yang membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk mengkaji ulang dampak sosial-ekologis tambang.

Siapa Tertawa Paling Akhir?

Jika indikatornya adalah izin yang tetap berlaku, PT Gag Nikel dan jaringan kekuasaan di belakangnya masih tertawa. Tapi jika indikatornya adalah tekanan politik dan opini publik yang terus membesar, maka masyarakat adat dan aktivis lingkungan punya peluang untuk mengubah arah permainan.

“Ini belum akhir. Ini justru panggilan untuk membuat Raja Ampat menjadi contoh keberlanjutan yang sesungguhnya,” ujar Albina Mayor, perempuan adat yang memimpin protes warga.

Solusi Jalan Tengah: Ada, Tapi Butuh Nyali

Solusi jangka menengah yang dapat diterima semua pihak mencakup:

  • Moratorium total tambang di pulau kecil, sesuai UU No.1/2014
  • Restorasi lingkungan dan audit izin tambang yang masih aktif
  • Pengakuan wilayah adat dan pemberdayaan masyarakat sebagai penjaga dan pengelola ekowisata
  • Transparansi dokumen perizinan dan hasil AMDAL
  • Insentif bagi daerah yang menolak tambang demi perlindungan ekologis

Raja Ampat adalah anugerah ekologis dan budaya, bukan sekadar cadangan nikel. Jika negara masih membiarkan tambang merambah pulau kecil dengan alasan ekonomi, maka kita sedang menggali lubang bukan hanya bagi karang dan laut, tetapi juga masa depan.

Pertanyaannya kini: apakah pemerintah berani melawan arus kepentingan korporasi demi laut yang biru dan suara warga yang jernih?

Tim Riset & Investigasi Migas360.id