Beranda / Mineral / Proyek Strategis / Potensi Indonesia Mengembangkan Teknologi Pembangkit Nuklir: Saatnya Serius Menimbang PLTN

Potensi Indonesia Mengembangkan Teknologi Pembangkit Nuklir: Saatnya Serius Menimbang PLTN

Ketika Kazakhstan dan China memperkuat kerja sama strategis di bidang energi nuklir, termasuk rencana pembangunan PLTN dan riset bersama uranium lintas batas, Indonesia justru masih berkutat pada wacana panjang: apakah energi nuklir layak digunakan di tanah air? Pertanyaannya kini bukan lagi “mampu atau tidak”, tetapi “siap atau tidak” Indonesia bersaing dalam transisi energi rendah karbon secara global.

Kazakhstan dan China: Peta Jalan Nuklir yang Serius

Kazakhstan, eksportir uranium terbesar dunia (43% suplai global), tidak memiliki satu pun PLTN aktif. Namun dengan menggandeng China National Nuclear Corporation (CNNC), mereka menyiapkan lompatan strategis: dari pemasok bahan mentah menjadi pengguna dan mitra teknologi nuklir.

China sendiri memiliki 56 reaktor aktif dan tengah membangun 27 unit tambahan, menargetkan 150 reaktor baru pada 2035. Inisiatif ini tak hanya soal energi, tetapi bagian dari strategi dominasi teknologi global.

Apakah Indonesia Punya Potensi Nuklir?

Indonesia secara geologis tidak semelimpah Kazakhstan dalam uranium, tetapi menurut data Kementerian ESDM dan BATAN, Indonesia memiliki beberapa lokasi prospektif uranium dan thorium: di Kalimantan Barat (Kecamatan Ketapang), Bangka Belitung, dan Papua.

Cadangan potensial uranium Indonesia diperkirakan sekitar 90.000 ton (data BATAN), namun belum dikembangkan secara komersial karena keterbatasan teknologi ekstraksi, keekonomian rendah, dan peraturan yang belum mendukung eksploitasi mineral radioaktif.

Thorium, alternatif uranium yang lebih aman, juga ditemukan cukup signifikan dalam mineral monasit yang tersebar di wilayah Bangka dan Kalimantan. Nilai keekonomian thorium baru bisa dioptimalkan jika Indonesia memiliki teknologi reaktor generasi baru seperti molten salt reactor (MSR).

Faktor Pendukung dan Penolakan

Faktor pendukung:

  • Kebutuhan energi tinggi dan stabil untuk kawasan industri dan kota besar.
  • Krisis energi fosil dan tekanan global menuju net zero emission.
  • Teknologi reaktor baru yang lebih aman, kecil, modular, dan bisa disesuaikan dengan wilayah kepulauan.
  • Cadangan thorium dan uranium terbatas namun tersedia.
  • Skema internasional seperti IAEA memungkinkan pemanfaatan nuklir dengan pengawasan ketat.

Faktor penolakan:

  • Tingginya resistensi publik terhadap PLTN akibat trauma bencana Chernobyl dan Fukushima.
  • Belum adanya regulasi matang soal industri nuklir sipil.
  • Tantangan infrastruktur dan biaya awal besar (capex PLTN bisa mencapai USD 5–9 miliar/unit).
  • Risiko bencana dan keamanan radiasi, terutama di wilayah ring of fire seperti Indonesia.

Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

1. Segera menyelesaikan regulasi hukum energi nuklir sipil yang membuka ruang pembangunan PLTN secara komersial, bukan hanya riset.

2. Mengembangkan roadmap nuklir nasional yang sinkron dengan transisi EBT, dengan target implementasi modular small reactors (SMR) di wilayah industri atau pulau besar.

3. Menjalin kerja sama internasional dengan negara seperti China, Korea Selatan, atau Prancis untuk teknologi, pendanaan, dan pelatihan SDM.

4. Edukasi publik berbasis data ilmiah untuk menghapus stigma nuklir dan membangun pemahaman berbasis manfaat dan risiko nyata.

5. Memulai pilot project PLTN skala kecil (10–30 MW) di wilayah aman gempa seperti Kalimantan atau Papua Barat.

Indonesia Harus Berani Melangkah Dengan populasi 280 juta dan kebutuhan energi yang terus melonjak, PLTN bukan lagi opsi tabu, tapi bagian dari keniscayaan. Dunia sudah berubah. Ketika negara-negara Asia Tengah dan ASEAN mulai menegosiasikan lisensi reaktor, Indonesia tidak bisa terus berdiri di persimpangan. Kini saatnya Indonesia bukan sekadar ikut tren, tapi merancang masa depan energinya sendiri dengan berani, cerdas, dan berdaulat.

Tim Riset & Investigasi Migas360.id