Beranda / Industri Strategis & Transisi / Di Balik Bau Sampah dan Kilau Listrik Hijau: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan dari Proyek PSEL?

Di Balik Bau Sampah dan Kilau Listrik Hijau: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan dari Proyek PSEL?

bulb photography

Ketika pemerintah bicara tentang “sampah yang jadi berkah,” publik mendengarnya sebagai kabar baik. Tetapi di balik jargon “teknologi ramah lingkungan” dan “ekonomi hijau,” sebuah dokumen seleksi resmi yang dikeluarkan PT Danantara Investment Management (Persero) mengungkap cerita berbeda — cerita tentang bagaimana kebijakan energi sampah nasional justru berpotensi menjadi proyek privat yang membungkus ambisi korporasi besar dengan bendera pembangunan hijau.

Dokumen yang berjudul Selection Document for DPT of Strategic Partners for Waste to Energy (BUPP PSEL) seolah tampak administratif. Namun, bila dibaca dengan kaca mata ekonomi politik, isi dokumen ini lebih mirip “gerbang eksklusif” menuju monopoli energi hijau oleh segelintir korporasi raksasa yang punya modal miliaran dolar dan akses langsung ke lingkar kekuasaan.

Retorika Hijau, Struktur Elitis

PT Danantara Investment Management (Persero), perusahaan investasi milik negara yang mengaku bertugas “mengonsolidasikan dan mengoptimalkan investasi pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional,” merancang sistem seleksi mitra yang tampak profesional — tapi terlalu sempurna untuk bisa diakses publik biasa.

Persyaratan finansialnya mencengangkan: aset minimal Rp2,5 triliun per tahun, ekuitas minimal Rp700 miliar, dan pendapatan kumulatif Rp900 miliar dalam tiga tahun terakhir. Di atas kertas, kriteria ini disebut “menjaga kredibilitas proyek.” Namun dalam praktiknya, batas ini menyingkirkan hampir seluruh perusahaan nasional kelas menengah, BUMD, bahkan koperasi energi lokal.

Dengan ambang yang begitu tinggi, hanya konglomerat energi dan pemain global seperti Veolia, Hitachi Zosen, atau China Everbright yang memenuhi syarat. Sementara itu, perusahaan daerah yang justru mengenal karakter sampah dan sosial ekonomi lokal, tersingkir sebelum sempat mengajukan dokumen.

Sampah Rakyat, Laba Korporasi

Proyek Waste to Energy sejatinya adalah jawaban atas krisis sampah perkotaan — terutama di Jakarta, Surabaya, dan Medan — yang menumpuk jutaan ton setiap tahun. Konsepnya sederhana: membakar sampah untuk menghasilkan listrik, sekaligus mengurangi volume limbah.

Namun dari isi dokumen seleksi ini, tampak jelas bahwa rakyat hanya diposisikan sebagai penyedia bahan baku — bukan penerima manfaat. Sampah masyarakat akan diolah menjadi listrik, tetapi keuntungan dari energi tersebut tidak otomatis kembali ke daerah. Pemerintah daerah tidak disebut sebagai bagian dari struktur kepemilikan, hanya sebagai penonton di pinggir lapangan.

Lebih jauh, tidak ada klausul yang mewajibkan penggunaan tenaga kerja lokal, kemitraan dengan BUMD, atau keterlibatan UMKM. Semuanya tunduk pada mekanisme korporasi besar yang bisa mengendalikan teknologi, keuangan, dan bahkan kebijakan. Hasilnya: energi hijau, tapi keuntungan merah — mengalir deras ke rekening perusahaan besar.

Pintu Masuk Korporasi Asing

Salah satu pasal paling menarik adalah ketentuan yang membuka partisipasi perusahaan dari “negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia.” Ini artinya, proyek strategis energi berbasis sampah tidak tertutup bagi korporasi asing.

Lebih jauh lagi, setiap dokumen asing hanya perlu dilegalisasi berdasarkan Hague Convention 1961, dan PT Danantara memiliki hak mutlak untuk menerima atau menolak tanpa alasan. Dengan kata lain, proyek strategis energi nasional ini bisa sepenuhnya dikendalikan oleh konsorsium asing — asalkan mereka punya aset besar dan pengalaman proyek minimal 1.000 ton sampah per hari.

Bandingkan dengan perusahaan lokal yang biasanya mengelola hanya 50–200 ton per hari. Secara sistematis, dokumen ini bukan sekadar seleksi, tapi filter ideologis: menyingkirkan pelaku kecil, mengundang pemodal besar, dan menjadikan energi hijau sebagai ladang emas global.

Transparansi Semu dan Diskresi Mutlak

Dalam dokumen tersebut tertulis jelas:

“PT DIM memiliki hak mutlak untuk menolak seluruh atau sebagian dokumen aplikasi seleksi tanpa berkewajiban memberikan alasan apa pun.”

Kalimat itu terdengar teknis, tapi di dunia investasi publik, itulah pintu masuk terbesar bagi oligarki. Hak mutlak tanpa kewajiban menjelaskan adalah bentuk diskresi absolut — dan setiap diskresi absolut selalu berpotensi menjadi celah bagi kepentingan tertentu. Tak ada mekanisme publikasi evaluasi, tak ada keterlibatan daerah, tak ada akuntabilitas terhadap publik. Yang ada hanya satu pintu, dan kuncinya dipegang oleh PT Danantara.

Energi Hijau, Demokrasi Abu-Abu

Ironisnya, proyek ini diiklankan sebagai bentuk “optimalisasi investasi pemerintah untuk mendukung ekonomi nasional.” Namun faktanya, semua biaya seleksi dan persiapan dokumen dibebankan kepada peserta, bahkan tanpa jaminan akan diundang ke tender utama. Dalam konteks ekonomi daerah, kebijakan seperti ini tidak menciptakan ekonomi hijau, tetapi ekonomi abu-abu — ekonomi yang diwarnai oleh campuran kepentingan negara dan korporasi besar.

Energi yang dihasilkan dari sampah rakya seharusnya menjadi simbol kedaulatan ekonomi lokal, bukan alat legitimasi kapital hijau yang hanya indah di konferensi dan laporan ESG internasional.

PSEL Bukan Sekadar Soal Sampah

Proyek Waste to Energy seharusnya menjawab dua krisis besar Indonesia: sampah dan ketergantungan energi fosil. Namun, dokumen seleksi ini justru memperlihatkan arah baru kolonialisasi ekonomi dalam bentuk yang lebih halus: kolonialisasi melalui syarat teknis, mekanisme investasi, dan kontrol administratif.

Di tengah narasi “kota hijau” dan “ekonomi berkelanjutan,” yang sebenarnya sedang berlangsung adalah pergeseran kedaulatan dari daerah ke korporasi. Rakyat menyediakan sampah, pemerintah daerah menyediakan lahan, dan korporasi besar mengambil listrik — serta laba.

Sampah tetap milik rakyat. Tapi listriknya, dan keuntungannya, bisa saja sudah berpindah tangan jauh sebelum mesin pembakar itu dinyalakan.

Tim Riset & Investigasi Migas360.id