Beranda / Regional & Nasional / Bara Timur Tengah yang Membakar Stabilitas Energi Nasional

Bara Timur Tengah yang Membakar Stabilitas Energi Nasional

Ketegangan geopolitik Israel–Iran memicu lonjakan harga minyak dan gas global. Ketahanan energi nasional Indonesia kini diuji, menyisakan risiko ekonomi yang mengintai rumah tangga, industri, dan neraca perdagangan.

Perang terbuka antara Israel dan Iran yang pecah sejak awal 2025 tak hanya menjadi ancaman keamanan kawasan Timur Tengah. Bagi Indonesia, konflik ini telah memicu lonjakan harga energi, mengguncang pasokan impor minyak mentah, dan memicu efek berantai terhadap stabilitas fiskal, inflasi, dan daya beli rakyat.

Serangan rudal balasan antara Iran dan Israel sejak Maret 2025 menyebabkan instabilitas besar di kawasan Teluk Persia. Iran, yang menguasai Selat Hormuz—jalur utama ekspor minyak dunia—telah mengancam memblokade jalur tersebut. Sebanyak 20% minyak dunia melewati selat ini setiap harinya.

Akibatnya:

  • Harga minyak Brent melonjak di kisaran USD 76-80 per barel (per Juni 2025).
  • Harga LNG spot Asia naik lebih dari 40% dalam waktu 6 minggu.
  • Shipping premium dan asuransi kapal tanker di kawasan meningkat dua kali lipat.

Menghantami Indonesia

Meski produsen minyak, Indonesia sejak 2004 menjadi net importer. Menurut data BPS dan Kementerian ESDM, Indonesia mengimpor 600-700 ribu barel minyak per hari. Lebih dari 30% impor berasal dari Timur Tengah (Arab Saudi, Irak, UEA). Kebutuhan BBM dalam negeri 2025 diperkirakan mencapai 1,4 juta barel/hari.

Ketergantungan ini menyebabkan harga BBM domestik sangat rentan terhadap fluktuasi global.

  1. Ketersediaan & Pasokan BBM

Pertamina mulai mengatur ulang jadwal pengadaan dan diversifikasi pasokan dari Afrika dan Rusia. Kilang Balongan dan Cilacap mengalami keterlambatan pasokan minyak mentah.

  1. Subsidi Energi Meningkat

Subsidi energi yang direncanakan Rp 339 triliun berpotensi melonjak menjadi Rp 450 triliun (simulasi Kemenkeu). Jika harga minyak USD 82 per barel bertahan > 3 bulan, beban APBN akan makin berat.

  1. Lonjakan Harga BBM Non-Subsidi

Pertamax Turbo dan Dexlite mengalami kenaikan dua kali dalam 2 bulan. Pengusaha logistik dan transportasi mulai menaikkan tarif angkut.

Dampak Berantai

  • Inflasi Mei 2025 mencapai 4,8%, tertinggi sejak pandemi COVID-19.
  • Sektor makanan dan transportasi menyumbang inflasi tertinggi.
  • Industri padat energi seperti semen, baja, tekstil, dan petrokimia mulai memangkas produksi.
  • UMKM pengolahan pangan mengeluh atas naiknya ongkos distribusi.
  • BI mengintervensi pasar valas sebesar USD 2,3 miliar demi stabilisasi.
  • Kenaikan harga transportasi dan pangan memukul kelas menengah bawah.
  • Konsumsi rumah tangga mulai melambat sejak April 2025.

Skenario ke Depan

Menurut Dr. Fabby Tumiwa (IESR), konflik ini menjadi “wake-up call” untuk mengurangi ketergantungan energi fosil dan mempercepat transisi ke energi terbarukan dalam negeri.

Menurut Luhut Binsar Pandjaitan, pemerintah sedang mengamankan jalur pasokan alternatif dari Rusia, Afrika Barat, dan mempercepat realisasi B35 serta biodiesel untuk mengurangi tekanan impor.

Rekomendasi

  1. Diversifikasi Pasokan Energi:
  • Perkuat diplomasi energi dengan Rusia, Nigeria, dan Venezuela.
  • Bangun stok strategis BBM nasional (Strategic Petroleum Reserve).
  1. Percepat Transisi Energi:
  • Kembangkan PLTS skala besar dan B40.
  • Tingkatkan insentif kendaraan listrik.
  1. Reformasi Subsidi:
  • Alihkan subsidi energi ke bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi transportasi publik.
  1. Perlindungan Industri dan Rakyat Kecil:
  • Beri insentif listrik dan bahan baku untuk UMKM.
  • Perluas bansos untuk sektor informal terdampak.

Konflik Israel–Iran menelanjangi rapuhnya fondasi energi Indonesia. Ketahanan energi tak lagi bisa hanya bertumpu pada subsidi dan impor. Pemerintah dan seluruh stakeholder harus bergerak cepat memperkuat ketahanan energi nasional sebagai fondasi ketahanan ekonomi dan sosial.

Tim Riset & Investigasi Migas360.id