Ketika transisi energi bersih terus dipercepat di berbagai negara, permintaan terhadap lithium—dijuluki sebagai “emas putih”—melonjak drastis. Mineral ini kini menjadi tulang punggung produksi baterai untuk kendaraan listrik (EV) dan sistem penyimpanan energi masa depan.
Data dari IRENA (International Renewable Energy Agency) memproyeksikan, permintaan lithium hanya untuk baterai akan meningkat 10 kali lipat dalam rentang 2020 hingga 2030. Laporan Popular Mechanics memperkirakan kebutuhan lithium global pada 2030 bisa mencapai 450.000 ton, sementara pada 2021 dunia baru menghasilkan 105 ton.
Ironi Global: Permintaan Melejit, Daur Ulang Terbengkalai
Di tengah lonjakan permintaan itu, dunia justru membuang jutaan ton baterai lithium-ion ke tempat sampah setiap tahun. Hanya 5 persen dari baterai tersebut yang didaur ulang. Padahal, studi dari Stanford University menunjukkan bahwa proses daur ulang skala industri bisa 58 persen lebih ramah lingkungan daripada menambang lithium baru—menghemat air, energi, dan mengurangi emisi karbon secara signifikan.
Indonesia: Populasi Besar, Limbah Baterai Melimpah, Peluang Terbuka
Sebagai negara dengan populasi keempat terbesar di dunia dan tingkat adopsi gadget, motor listrik, dan power bank yang tinggi, Indonesia menyumbang limbah baterai lithium-ion dalam jumlah besar setiap tahunnya. Namun, hingga saat ini, infrastruktur daur ulang lithium belum terbangun secara serius.
Jika hanya 10% dari pengguna smartphone di Indonesia mengganti baterainya setiap tahun, potensi daur ulang nasional bisa mencapai puluhan juta unit. Ini belum termasuk baterai dari sepeda motor listrik, UPS, laptop, dan perangkat penyimpanan daya lainnya yang kini makin populer.
Sayangnya, belum ada kebijakan terpadu nasional untuk mengatur, mengumpulkan, dan mengolah limbah baterai berbasis lithium secara sistematis. Peluang besar ini bisa menjadi sektor strategis baru bagi Indonesia, jika digarap dengan dukungan investasi, regulasi, dan transfer teknologi.
Inspirasi dari Hong Kong: Daur Ulang Pintar Berbasis AI
Sebuah perusahaan rintisan asal Hong Kong, Achelous Pure Metals, memberikan contoh inovasi. Mereka mengembangkan sistem daur ulang portabel berbasis AI yang dapat memproses baterai lithium-ion di pusat kota, mempermudah integrasi ke wilayah urban.
Menurut Alan Wong Yuk-chun, co-founder Achelous, mereka menargetkan Asia Tenggara sebagai pasar ekspansi berikutnya—Indonesia berpeluang besar menjadi hub utama, mengingat populasi dan konsumsi baterai yang masif.
Namun tantangannya nyata: kompetisi memperebutkan bahan daur ulang (black mass) kini kian sengit. China, misalnya, mendominasi pasar global lithium dan telah membangun jaringan daur ulang masif hingga membuat harga black mass melonjak, sementara harga produk akhir seperti lithium karbonat terus menurun akibat kelebihan pasokan.
Daur Ulang sebagai Strategi Energi Nasional dan Pengurangan Impor
Pemerintah Indonesia selama ini fokus pada hilirisasi nikel untuk baterai EV. Namun daur ulang lithium bisa menjadi pelengkap strategis. Dengan membangun “pabrik mikro daur ulang” di kota-kota besar—seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan—Indonesia tidak hanya mengurangi ketergantungan pada impor lithium, tapi juga menciptakan lapangan kerja hijau, menjaga lingkungan, dan membuka pasar ekspor black mass ke negara-negara seperti Tiongkok, Korea Selatan, atau Jepang.
Skema insentif fiskal, regulasi pengumpulan limbah baterai, dan kerja sama riset teknologi daur ulang perlu segera dirancang agar Indonesia tak sekadar menjadi konsumen, tapi juga pemain utama dalam ekosistem energi terbarukan global.
Kesimpulan: Dari Sampah Menjadi Emas Putih
Daur ulang baterai lithium bukan hanya solusi ekologis, tetapi juga langkah strategis untuk ketahanan energi nasional. Indonesia memiliki semua modal: populasi besar, tingkat konsumsi tinggi, dan keuntungan geografis. Yang dibutuhkan tinggal satu: keseriusan membangun ekosistem daur ulang berbasis teknologi dan regulasi.
Jika langkah ini diambil hari ini, Indonesia berpeluang menjadi pemain penting dalam rantai pasok global baterai dan energi bersih, bukan sekadar pasar konsumsi.
Tim Riset & Investigasi Migas360.id









