Raksasa energi Amerika Serikat, Chevron Corporation, secara resmi tengah menjajaki penjualan 50% sahamnya di kilang minyak miliknya di Singapura. Langkah ini merupakan bagian dari strategi global perusahaan untuk merampingkan portofolio asetnya di tengah tekanan efisiensi dan fokus pada proyek-proyek inti yang lebih menguntungkan.
Chevron telah menunjuk Morgan Stanley sebagai penasihat keuangan untuk mengoordinasikan proses penjualan yang saat ini memasuki tahap penawaran non-binding (belum mengikat) pada bulan Juli 2025
Kilang Strategis di Jantung Asia Tenggara
Kilang yang dimaksud adalah Singapore Refining Company (SRC), sebuah usaha patungan 50:50 antara Chevron dan PetroChina, perusahaan minyak milik negara Tiongkok. SRC memiliki kapasitas pengolahan hingga 290.000 barel per hari (bph) dan menjadi salah satu simpul penting dalam jaringan distribusi bahan bakar Chevron di kawasan Asia Pasifik, termasuk ke wilayah Jurong Island yang merupakan pusat industri petrokimia Singapura.
PetroChina, sesuai klausul perjanjian, memiliki hak penolakan pertama (right of first refusal) atas saham yang dijual Chevron, sehingga menjadi kandidat pembeli terkuat saat ini.
Mengapa Chevron Menjual Sahamnya?
Penjualan saham ini merupakan bagian dari rencana strategis besar Chevron yang diumumkan awal tahun ini, yang mencakup:
- Pemangkasan 15–20% tenaga kerja global hingga 2026.
- Restrukturisasi organisasi besar-besaran, dengan konsolidasi unit Oil, Products & Gas.
- Fokus pada aset-aset hulu (upstream) yang memberikan margin tinggi, terutama di Amerika Serikat, Afrika, dan Timur Tengah.
Chevron juga telah mulai melepas aset lain di Asia, termasuk terminal penyimpanan dan distribusi BBM di Filipina dan Australia, dalam upaya mengurangi beban operasional dan meningkatkan profitabilitas.
Siapa Saja yang Berminat?
Menurut sumber Reuters, beberapa nama besar telah menyatakan minat, termasuk Glencore, raksasa perdagangan komoditas asal Swiss. Glencore memiliki rekam jejak kuat di perdagangan minyak dan logistik energi, serta mengelola jaringan pasokan global.
Namun, posisi PetroChina sebagai mitra existing memberi keuntungan kompetitif: sinergi operasi, penguasaan rantai pasok, dan integrasi dengan jaringan kilang dan distribusi milik Tiongkok di kawasan ASEAN dan Pasifik.
Potensi Strategis Bagi Pembeli
Mengakuisisi kilang di Singapura bukan hanya soal produksi bahan bakar, tapi juga:
- Akses langsung ke pasar Asia Tenggara dan Asia Timur, termasuk Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina.
- Kontrol atas rantai distribusi regional, dengan Singapura sebagai pusat trading energi terbesar di Asia.
- Integrasi dengan sistem petrokimia dan kilang sekunder, terutama untuk produk bernilai tinggi seperti bahan bakar avtur, naphtha, dan pelumas.
Apakah Indonesia Berpeluang Masuk?
Hingga saat ini, belum ada laporan bahwa entitas Indonesia—baik BUMN seperti Pertamina maupun swasta nasional—terlibat dalam proses penawaran. Namun, dari sudut pandang geopolitik energi dan strategi bisnis, masuknya Indonesia akan memberikan keuntungan jangka panjang:
- Diversifikasi pasokan BBM dan produk turunan di luar negeri, sebagai bagian dari strategi energi nasional.
- Penguatan posisi Indonesia dalam ekosistem perdagangan energi Asia, termasuk pengaruh terhadap harga regional.
- Aliansi strategis dengan mitra internasional, seperti PetroChina, untuk memperluas kerja sama LNG, petrokimia, dan logistik.
Kesimpulan dan Tantangan ke Depan
Langkah Chevron menjual 50% saham kilangnya di Singapura adalah sinyal kuat bahwa industri minyak global sedang memasuki fase rasionalisasi. Perusahaan besar mulai melepas aset yang dianggap kurang strategis untuk memperkuat inti bisnis yang lebih tahan banting terhadap fluktuasi harga minyak dan tekanan energi hijau.
Bagi Indonesia, momen ini seharusnya dilihat bukan sebagai peluang belaka, tetapi juga sebagai panggilan untuk meningkatkan daya saing BUMN energi dan menciptakan kehadiran global yang lebih kuat di simpul-simpul energi utama dunia, seperti Singapura.
Tim Riset & Investigasi Migas360.id









