Beranda / TJSL / Energi dari Sampah: Antara Solusi Hijau dan Ancaman Abu Hitam

Energi dari Sampah: Antara Solusi Hijau dan Ancaman Abu Hitam

Pagi itu, bau menyengat tercium hingga radius setengah kilometer dari kawasan pengolahan sampah Rorotan, Jakarta Utara. Warga mengeluh sejak proyek “sampah jadi listrik” diresmikan. Asap tipis kadang tampak dari cerobong, meski petugas menyebut semuanya “masih uji coba”.

Sementara itu, di sisi lain Nusantara, sebuah komunitas kecil di pinggiran Kali Ciliwung sibuk menyulap sampah rumah tangga menjadi briket untuk bahan bakar. Mereka menyebutnya peuyeumisasi, bagian dari program TOSS–GCB. Tidak ada cerobong, tidak ada bau. Tapi skalanya kecil, nyaris tak terdengar di rapat-rapat kementerian.

Di tengah krisis energi dan darurat sampah, Indonesia tengah meniti jalan terjal menuju solusi: mengubah sampah jadi energi. Tapi seberapa siap kita menapaki jalur ini?

Janji Energi dari Sampah

Indonesia menghasilkan lebih dari 67 juta ton sampah per tahun. Sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) yang makin sesak. Pemerintah lalu menggulirkan gagasan besar: mengolah sampah menjadi energi, terutama listrik.

Sejak 2018, proyek ambisius ini mulai diluncurkan. Pemerintah menargetkan pembangunan 30 hingga 33 PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) di kota-kota besar. Skema dan teknologinya beragam: incinerator, pirolisis, biodigester, hingga RDF (Refuse Derived Fuel).

Satu ton sampah bisa menghasilkan sekitar 700 kWh listrik. Jika skema ini berhasil, Indonesia bisa memperoleh lebih dari 600 MW listrik—setara hampir separuh kapasitas pembangkit listrik Batam.

Tapi ada peringatan: solusi cepat kadang meninggalkan luka dalam.

Realita di Lapangan—Antara Bau, Abu, dan Kontroversi

Kasus Rorotan: “Kami tak bisa bernapas lega”

Di Jakarta, proyek WtE di Rorotan diklaim menggunakan teknologi ramah lingkungan. Tapi warga mengeluh soal bau menyengat dan asap tipis yang kerap muncul. Beberapa aktivis lingkungan menyebut sistem kontrol emisinya belum layak jalan.

Proyek serupa di Putri Cempo, Solo, juga memicu protes warga. Mereka khawatir pencemaran udara dan air tanah akan jadi harga mahal untuk listrik murah.

“Teknologinya katanya modern. Tapi baunya tetap kuno,” kata Nanik, warga sekitar Cempo.

PLTSa Benowo: Satu dari Sedikit yang Berfungsi

Di Surabaya, PLTSa Benowo menjadi satu dari sedikit proyek yang berjalan cukup stabil. Tapi biayanya fantastis: lebih dari Rp 1 triliun. Biaya listriknya pun tinggi, sekitar 19 sen USD/kWh—jauh di atas harga listrik konvensional.

Artinya: tanpa subsidi, proyek ini belum layak secara ekonomi.

Inovasi Akar Rumput yang Terabaikan

Di balik gegap gempita megaproyek, muncul solusi dari bawah. Di kawasan bantaran Kali Ciliwung, warga mengembangkan teknologi biodrying peuyeumisasi. Mereka menyortir sampah, mengeringkannya, dan menjadikannya briket biomassa.

Biaya murah. Tidak ada cerobong. Dan yang terpenting: diterima masyarakat.

Tapi inovasi seperti ini jarang mendapat tempat di program nasional. Mereka kalah pamor dari proyek-proyek raksasa yang menjanjikan listrik cepat.

Bahaya yang Mengintai

  1. Polusi Udara & Limbah Berbahaya

Incinerator, jika tidak dikendalikan dengan benar, berpotensi mengeluarkan dioksin, furan, dan partikel mikro. Ini bisa berdampak serius pada kesehatan, terutama bagi warga yang tinggal di sekitar fasilitas.

  1. Risiko Konflik Sosial

Minimnya sosialisasi dan keterlibatan publik menjadikan proyek WtE sering menuai protes. Di beberapa kota, warga bahkan mengancam memblokir jalan ke fasilitas.

  1. Salah Arah Kebijakan

Fokus berlebihan pada WtE justru bisa menghambat program 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Saat sampah dianggap “bahan bakar”, ada potensi pembiaran terhadap konsumsi dan produksi sampah.

Jalan Tengah yang Masih Mungkin

Pakar lingkungan Dr. Rizky Ardhana menyebut, “Sampah bisa jadi energi. Tapi jangan jadi candu kebijakan. Harus disertai kontrol emisi, keadilan sosial, dan pengurangan dari hulu.”

Rekomendasi yang kerap digaungkan para ahli:

  1. Teknologi disesuaikan kondisi lokal: Jangan copy-paste teknologi Eropa untuk sampah tropis Indonesia yang basah dan tercampur.
  2. Dorong model hybrid: Gabungkan pembakaran, biodigester, RDF, dan co-firing biomassa sesuai karakter kota.
  3. Transparansi dan akuntabilitas publik: Setiap proyek WtE harus melewati audit lingkungan terbuka dan uji partisipatif.
  4. Inklusi solusi komunitas: Beri ruang dan insentif pada inovasi seperti TOSS-GCB untuk mendampingi proyek besar.

Antara Asa dan Abu

Energi dari sampah bukan mitos. Tapi juga bukan jalan pintas. Ia membutuhkan tata kelola yang rapi, kemauan politik yang bersih, dan suara warga yang tak dibungkam.

Jika tidak, proyek hijau ini bisa berubah menjadi abu kelabu yang menyesakkan—baik paru-paru maupun masa depan bangsa.

“Jika Anda tak memilah sampah dari rumah, maka teknologi secanggih apa pun hanya akan jadi pabrik racun yang mahal.” — Catatan Aktivis, Ciliwung, 2025

Tim Riset & Investigasi Migas360.id