Di tengah ambisi menjadi negara berdaulat energi, Indonesia justru masih berada dalam cengkeraman ketergantungan terhadap impor minyak dan gas bumi (migas). Masalah ini bukanlah baru, namun kini kian mendesak seiring meningkatnya konsumsi domestik dan menurunnya produksi nasional.
Masalah Utama: Produksi Stagnan, Impor Membengkak
Pada 2024, kebutuhan minyak Indonesia mencapai 532 juta barel per tahun. Namun produksi dalam negeri hanya sekitar 212 juta barel—artinya lebih dari 60% harus dipenuhi lewat impor. Implikasinya sangat serius:
Defisit energi yang terus melebar, ketergantungan pada fluktuasi geopolitik global, terutama harga minyak mentah.
Beban devisa tinggi, dengan nilai impor migas mencapai lebih dari Rp 380 triliun pada 2023.
Masalah kian kompleks karena sekitar 16.990 sumur migas di Indonesia dalam kondisi idle. Sebagian besar cadangan migas juga berada di laut dalam dan wilayah terpencil yang membutuhkan investasi besar dan teknologi tinggi.
Kebijakan Baru: Menjawab Krisis dengan Strategi Serius
Menjawab tantangan tersebut, pemerintah bersama SKK Migas dan Kementerian ESDM meluncurkan sejumlah kebijakan terobosan. Namun, setiap solusi datang dengan tantangan tersendiri.
1. Reaktivasi Sumur Idle
Pemerintah menargetkan reaktivasi 1.006 sumur idle pada 2025, dengan potensi tambahan produksi mencapai 5.816 barel per hari. Meski menjanjikan, pelaksanaannya penuh hambatan:
- Banyak sumur berada di wilayah dengan infrastruktur buruk
- Masalah biaya operasi dan keekonomian proyek masih tinggi.
2. Penguatan Teknologi EOR
- Enhanced Oil Recovery (EOR) seperti waterflood, steamflood, dan CO₂ injection mulai didorong. Namun, adopsi teknologi ini menemui beberapa kendala :
- Investasi mahal
- Kemampuan SDM lokal yang masih terbatas.
- Kepastian fiskal jangka panjang agar investor merasa aman.
3. Percepatan Eksplorasi Wilayah Baru
Langkah ini sangat penting karena sebagian besar lapangan eksisting sudah mature. Pemerintah membuka peluang eksplorasi di laut dalam dan zona frontier. Tantangannya:
- Tingkat risiko geologis dan finansial tinggi.
- Butuh insentif fiskal yang lebih agresif untuk menarik minat investor global.
4. Reformasi Kebijakan Pengadaan
PTK 007 direvisi, memungkinkan perusahaan lokal bersaing hingga nilai proyek Rp 50 miliar. Ini penting untuk kedaulatan industri penunjang nasional. Namun risiko utamanya adalah:
- Kualitas dan kecepatan pasokan dalam negeri harus ditingkatkan.
- Perlunya pengawasan ketat agar tidak dimonopoli kartel lokal.
Kekuatan Pendorong dan Penghambat
Yang Mendorong:
- Tekanan defisit neraca migas yang mendorong reformasi,
- Kepemimpinan baru di SKK Migas yang lebih pro-investasi,
- Momentum geopolitik dunia yang mendesak diversifikasi pasokan energi.
Yang Menghambat:
- Ketidakpastian regulasi jangka panjang,
- Birokrasi lintas kementerian yang masih tumpang tindih,
- Resistensi dari kelompok-kelompok lama yang nyaman dengan status quo impor.
Indonesia tidak kekurangan cadangan migas. Yang kurang adalah keberanian untuk mengeksekusi kebijakan besar dengan konsistensi dan efisiensi. Reaktivasi sumur idle, eksplorasi zona baru, serta reformasi fiskal dan teknologi adalah jalan ke depan—tapi penuh tantangan politik, teknis, dan struktural.
Kebijakan baru ini adalah awal, bukan akhir. Kedaulatan energi bukan hanya tentang produksi, tapi tentang ketegasan arah kebijakan nasional. Jika tidak ditopang dengan governance yang kuat, kebijakan sebaik apapun akan kehilangan daya dorongnya di lapangan.
Tim Riset Migas360.id








