Beranda / Teknologi Energi / Kebutuhan AI Meledak: Energi Fosil Kembali Jadi Primadona

Kebutuhan AI Meledak: Energi Fosil Kembali Jadi Primadona

Close-up of a computer screen displaying programming code in a dark environment.

Ketika kecerdasan buatan menuntut pasokan listrik dalam skala raksasa, industri teknologi dunia justru menoleh ke sumber energi yang dulu mereka tinggalkan: turbin gas dan nuklir.

Ketika publik global sibuk memperdebatkan etika AI dan potensi disrupsi sosialnya, satu isu yang luput dari sorotan adalah krisis energi diam-diam yang ditimbulkan oleh ledakan teknologi ini. Kebutuhan listrik yang terus meroket mendorong raksasa-raksasa teknologi seperti Meta, Amazon, dan OpenAI mengambil langkah yang mengejutkan: kembali ke energi fosil dan nuklir—bahkan dengan memanfaatkan teknologi pembangkit lawas seperti turbin gas siklus tunggal.

AI Butuh Listrik, dan Banyak Sekali

AI bukan sekadar baris kode. Ia membutuhkan daya komputasi dalam skala yang masif—dan itu artinya: listrik. Banyak.

Dan bukan sembarang listrik. Stabil, cepat, dan terjamin ketersediaannya. Ini mendorong perusahaan-perusahaan teknologi untuk mengamankan pasokan daya secara jangka panjang, bahkan jika itu berarti kembali mengaktifkan teknologi yang dulu dianggap kotor atau tidak efisien.

Salah satu contohnya: Meta baru saja meneken kontrak selama 20 tahun dengan Constellation Energy, operator PLTN di Illinois, AS. Uniknya, reaktor nuklir itu sebenarnya sudah dijadwalkan tutup pada 2017, namun dipertahankan oleh pemerintah negara bagian karena dianggap vital untuk menjaga keandalan jaringan listrik dan menekan emisi karbon.

Turbin Gas Kuno Dihidupkan Kembali

Sumber energi lain yang kini kembali naik daun adalah turbin gas siklus tunggal—teknologi pembangkit yang sempat ditinggalkan karena kalah efisien dibanding combined-cycle.

Mengapa kembali dilirik?

  1. Lebih cepat dibangun.
  2. Biaya konstruksi lebih murah.
  3. Dapat menyala dan merespons beban puncak dengan cepat.

“Industri ini sangat mendesak untuk mendapatkan listrik dengan cepat,” ujar Cully Cavness, COO Crusoe Energy, pengembang pusat data untuk proyek Stargate—kerja sama strategis antara OpenAI, Oracle, SoftBank, dan MGX. “Kami berusaha berpikir kreatif soal energi pusat data.”

Proyek Stargate berencana membangun jaringan pusat data AI skala global, dan mereka bukan satu-satunya.

Transisi Energi? Tunggu Dulu.

Amazon, melalui VP Global Data Center-nya Kevin Miller, mengakui bahwa “untuk memenuhi kebutuhan jaringan listrik, kita perlu menggunakan semua opsi yang tersedia dalam jangka pendek.” Termasuk pembangkit termal berbahan bakar gas alam.

Realitasnya, energi terbarukan belum mampu menjawab kebutuhan energi yang fluktuatif dan superbesar dari AI. Solar dan angin butuh penyeimbang (backup), dan baterai grid berskala industri masih terlalu mahal.

Sementara itu, membangun reaktor nuklir baru butuh waktu bertahun-tahun, belum lagi resistensi politik dan sosialnya.

Maka, turbin gas—yang bisa dibangun hanya dalam hitungan bulan—menjadi opsi realistis yang tak bisa diabaikan. Namun ironisnya, kini dunia justru mengalami kelangkaan turbin gas, membuat pembangunan PLTG baru menghadapi tantangan tambahan.

Ironi Big Tech

Yang paling mencolok adalah kenyataan bahwa raksasa teknologi yang selama ini menjadi juru kampanye energi bersih kini justru menjadi pelopor dalam penghidupan kembali energi fosil dan nuklir.

AI mengubah segalanya—bukan hanya cara kita bekerja, tetapi juga geopolitik energi global. AI membutuhkan energi besar, cepat, dan stabil. Energi fosil dan nuklir kembali diminati, termasuk teknologi lama seperti turbin gas siklus tunggal. Big Tech terpaksa menanggalkan idealismenya soal transisi energi demi mengejar kapasitas.

Indonesia patut waspada dan siap: ledakan AI global akan mempengaruhi harga gas, nuklir, dan arah kebijakan energi nasional. Apakah ini awal dari era baru “Realpolitik Energi” dalam dunia digital?

Tim Riset Migas360.id