Ketika Presiden Joe Biden pada 1 Mei 2024 menandatangani perpanjangan sanksi terhadap sektor energi Iran, gelombang dampaknya menjalar hingga ke Asia Tenggara, dengan Indonesia sebagai salah satu negara terdampak paling nyata. Pengetatan kembali larangan ekspor minyak mentah Iran, khususnya melalui mekanisme OFAC (Office of Foreign Assets Control), mempersempit pasokan global dan mendorong harga minyak menembus USD 95 per barel pada akhir Mei 2025 — tertinggi dalam 20 bulan terakhir.
“Iran tidak boleh terus mendanai milisi bersenjata dan program nuklirnya dari penjualan energi,” tegas Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dalam pernyataan resmi (1 Mei 2024, Washington).
Dampak Langsung terhadap Indonesia
Sebagai negara yang bergantung pada impor minyak mentah hingga 650.000 barel per hari (data BPS, Maret 2025), Indonesia menghadapi tekanan berat di beberapa sektor:
- Harga Minyak Domestik Naik Drastis
Harga ICP (Indonesian Crude Price) melonjak dari USD 82,5 menjadi USD 93,7 dalam tiga bulan terakhir. Hal ini langsung menaikkan biaya impor dan memperberat APBN, terutama karena subsidi energi masih signifikan. - Beban Subsidi Meningkat
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (April 2025), realisasi subsidi energi mencapai Rp 57 triliun hingga kuartal I — naik 18% dari periode yang sama tahun lalu. Proyeksi akhir tahun kini mendekati Rp 210 triliun, jauh di atas asumsi awal Rp 189 triliun. - Inflasi Mengancam Stabilitas Konsumen
BPS mencatat kenaikan indeks harga transportasi sebesar 3,1% (Mei 2025 yoy), terutama karena harga BBM non-subsidi naik dua kali dalam dua bulan. Efek domino terhadap harga logistik dan pangan mulai terasa di berbagai kota besar. - Defisit Transaksi Berjalan Memburuk
Bank Indonesia memperkirakan defisit transaksi berjalan Q2 2025 bisa mencapai -1,9% terhadap PDB jika harga minyak bertahan di atas USD 90, membebani rupiah dan memicu tekanan inflasi tambahan. - Peluang di Tengah Ketegangan
Di sisi lain, Indonesia justru menikmati peningkatan permintaan ekspor LNG dari Jepang dan Korea Selatan, yang tengah menyesuaikan rantai pasokan mereka akibat pemutusan kontrak jangka panjang dengan Iran. PGN dan Pertamina mencatat kenaikan volume ekspor sebesar 11,2% (yoy) per April 2025.
Geopolitik Baru, Strategi Baru
Poros energi global kini mulai bergeser ke kutub yang lebih tidak stabil. Dengan Rusia yang dibatasi oleh sanksi Eropa dan Iran yang ditekan AS, negara-negara seperti Arab Saudi, UEA, dan Qatar menjadi pemain sentral baru dalam diplomasi energi dunia. Indonesia, dengan cadangan LNG yang strategis, harus mampu memainkan peran diplomatik lebih aktif agar tidak sekadar menjadi “pasar” tapi juga “penentu”.

Kesimpulan: Jalan Terjal Menuju Ketahanan Energi
Dengan tensi geopolitik global yang belum mereda dan ketergantungan impor energi yang belum teratasi, Indonesia kini dihadapkan pada urgensi reformasi sektor energi. Sanksi terhadap Iran bukan hanya isu Timur Tengah — ini adalah realitas ekonomi Indonesia hari ini.
Tim Riset Migas360.id









