Beranda / Geopolitik Migas / Perang Iran-Israel dan Adu Tanduk Tiga Raksasa

Perang Iran-Israel dan Adu Tanduk Tiga Raksasa

Di balik desingan rudal dan retorika perang Iran-Israel, terselubung agenda kekuatan besar dunia: mengamankan pasokan energi, menata ulang dominasi geopolitik, dan menggiring Timur Tengah sebagai papan catur adu tanduk Amerika, Rusia, dan Cina.

Ketika Israel melancarkan serangan udara ke fasilitas-fasilitas strategis Iran dan Teheran membalas lewat milisi proksinya di Lebanon, Suriah, dan Irak, pasar minyak global langsung bergejolak. Harga minyak mentah menyentuh angka psikologis baru, dengan Brent melambung hingga tertinggi 80 USD per barel dalam beberapa pekan. Mengapa?

Selat Hormuz, yang hanya berjarak kurang dari 300 km dari wilayah konfrontasi Iran-Israel, merupakan jalur vital pengapalan energi dunia. Sekitar 20% pasokan minyak global melewati titik sempit ini setiap hari. Iran, yang menguasai sisi utara selat, secara rutin mengancam akan memblokade jalur ini setiap kali konflik meningkat.

Amerika dan sekutunya, termasuk Inggris dan Perancis, secara historis menempatkan armada militer mereka di sekitar Teluk bukan semata-mata untuk menjaga Israel, tapi demi menjamin pasokan energi yang stabil ke Barat.

“Energi adalah darah kehidupan Barat. Tak ada kebijakan luar negeri AS di Timur Tengah yang lepas dari motif energi,” ujar Dr. Rachel McGonagle, pakar geopolitik energi dari Harvard Kennedy School.

Siapa Menginginkan Perang dan Siapa Butuh Stabilitas?

Washington mendukung Israel secara militer dan intelijen, tetapi tetap berhitung. Sebuah perang besar akan merugikan ekonomi global, terlebih jika menyebabkan gangguan energi berkepanjangan. Namun, di sisi lain, krisis juga membuka ruang ekspansi bagi korporasi energi AS—terutama eksportir LNG dan minyak serpih—yang kini mengambil keuntungan dari lonjakan harga global.

China dan Rusia membaca ini dengan cermat.

China, sebagai konsumen energi terbesar dunia dan mitra dagang utama Iran, sangat berkepentingan agar jalur energi ke negaranya tetap aman. Beijing diam-diam memperkuat kerja sama militer dan teknologi dengan Iran melalui perjanjian strategis 25 tahun.

Rusia, yang sedang terisolasi akibat perang Ukraina, justru menyambut baik ketegangan Timur Tengah. Dengan harga energi yang tinggi dan perhatian dunia teralihkan, Moskow memperoleh napas ekonomi tambahan dan peluang memainkan peran sebagai pemasok energi alternatif ke Asia.

“Ini bukan hanya perang Israel-Iran. Ini permainan besar antara tiga kekuatan global yang mencari pijakan di satu titik geostrategis: Timur Tengah,” ujar seorang diplomat Uni Eropa yang enggan disebut namanya.

Siapa yang Menang, Siapa yang Kehilangan?

Meski publik disuguhi narasi perang suci atau pertahanan diri, kenyataannya warga sipil di Gaza, Lebanon, Suriah dan bahkan Iranlah yang menjadi korban utama. Sementara itu, korporasi energi dan kontraktor militer multinasional mencatat rekor laba baru.

Negara-negara Teluk pun kembali berada dalam posisi tawar tinggi. Arab Saudi, misalnya, kini menjadi “swing producer” yang bisa mengatur naik-turunnya harga minyak dengan keputusan sederhana di ruang tertutup OPEC+.

Bayangan Panjang di Atas Pipa Minyak

Konflik Israel-Iran hanyalah ujung gunung es dari krisis yang lebih besar: ketergantungan dunia pada energi fosil dan tidak transparannya permainan kekuatan global dalam menjaga akses terhadapnya.

Selama dunia belum beralih ke sumber energi yang lebih terdistribusi dan netral secara geopolitik, perang semacam ini akan terus berulang. Bukan karena alasan agama atau ideologi, tetapi karena alasan km yang jauh lebih dingin dan realistis: energi adalah kekuasaan.

Tim Riset & Investigasi Migas360.id