Kesepakatan interkoneksi energi terbarukan yang ditandatangani Prabowo dan PM Lawrence Wong jadi fondasi baru diplomasi hijau Asia Tenggara
Ladang surya terbesar di Asia Tenggara sedang mengambil bentuk di Batam. Namun yang sedang dibangun bukan sekadar pembangkit, tapi jaringan listrik lintas negara, menghubungkan pulau-pulau Indonesia dengan pusat keuangan dunia: Singapura.
Pada 16 Juni 2025, Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong meresmikan proyek interkoneksi energi terbarukan pertama di kawasan ASEAN. Ini bukan hanya ekspor listrik—ini adalah simbol transisi hijau dan diplomasi energi baru.
“Kita tidak hanya mengekspor listrik. Kita mengekspor masa depan yang lebih bersih,” ujar Presiden Prabowo dalam pidato peresmian.
Kabel Laut, Pembangkit Bersih, dan Kawasan Industri Hijau
Dalam perjanjian ini, Indonesia akan membangun dan mengekspor energi dari pembangkit surya dan angin di Kepulauan Riau. Sistem kabel laut bertegangan tinggi akan menyalurkan listrik hijau ke Singapura.
Beberapa poin utama proyek:
- Total kapasitas awal: 2 GW (cukup untuk 360.000 rumah tangga di Singapura),
- Lokasi utama: Batam, Bintan, Karimun,
- Nilai investasi awal: Rp162,6 triliun,
- Target operasional: 2028.
Tak hanya itu, Singapura juga mendukung pembangunan kawasan industri hijau terintegrasi di wilayah Kepri, menciptakan ekosistem industri berkelanjutan—dari produksi hidrogen hingga manufaktur baterai.
Mengapa Ini Penting untuk Indonesia?
Menurut Dr. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), proyek ini adalah lompatan besar
“Kita selama ini punya potensi EBT besar tapi tidak bisa dijual. Dengan proyek ini, energi bersih Indonesia akhirnya punya pasar yang nyata,” ujarnya.
Secara strategis Indonesian mempercepat monetisasi sumber daya EBT. Dari sisi ekonomi, proyek ini diyakini akan menyerap hingga 50.000 tenaga kerja langsung dan tidak langsung.
Sementara itu, Singapura selama ini mengandalkan gas alam impor (LNG) untuk 95% pasokan listriknya. Dengan proyek ini bauran energi lebih hijau, ketahanan pasokan meningkat dan emisi nasional bisa ditekan signifikan. Singapura juga memperkuat citranya sebagai pusat investasi hijau global, seiring peningkatan permintaan terhadap ESG (Environmental, Social, Governance) di pasar internasional.
ASEAN Power Grid Kian Dekat
Interkoneksi ini bukan berdiri sendiri. Ia bisa jadi katalis pembentukan ASEAN Power Grid, rencana ambisius untuk menyatukan sistem kelistrikan negara-negara Asia Tenggara agar lebih efisien, terjangkau, dan ramah lingkungan.
“Proyek ini menjadikan ASEAN lebih dari sekadar pasar. Ia bisa jadi kawasan energi bersama,” kata Energy Analyst Regional ADB, Sari Astari.
Jangan Sampai Rakyat Jadi Penonton
Meski proyek ini menjanjikan, beberapa hal patut diwaspadai:
- Akses energi untuk masyarakat lokal jangan sampai dikorbankan demi ekspor.
- Kerangka hukum ekspor EBT masih belum kokoh—perlu peraturan khusus soal tarif, distribusi, dan prioritas pasokan.
- Lingkungan lokal (hutan, lahan pesisir) perlu pengawasan ketat dari aktivitas pembangunan pembangkit dan jaringan.
Lebih dari megawatt dan kabel laut, proyek interkoneksi energi ini adalah wujud diplomasi energi baru di Asia Tenggara. Ia menyatukan dua ekonomi besar dalam visi yang sama: membangun masa depan rendah karbon, saling terhubung, dan berkeadilan.
Indonesia kini tak lagi hanya pengekspor batubara. Ia mulai menulis peran baru: penyedia energi bersih masa depan kawasan.
Tim Riset & Investigasi Migas360.id






